Jumat, 22 Juni 2012

Dielectric Thermal Analysis (DETA)


1.        Pendahuluan

Pengukuran dielektrik merupakan cara yang analog secara elektrik dengan  pengukuran dinamika mekanik. Dalam hal ini tegangan mekanik digantikan oleh  tegangan bolak balik yang melewati sampel (medan AC) dan regangan bolak balik menjadi penyimpan muatan (Q) dalam sampel. Sampel yang terkena efek tegangan tersebut bertindak sebagai kapasitor sederhana. Q selalu diukur sebagai turunan dari dQ/dt = arus AC. Analisa ini umumnya dilakukan untuk mengkaji perilaku curing dari sistem resin termosetting, material komposit, bahan perekat, polimer dan cat.

Data dielektrik didapatkan dari pengukuran fasa dan amplitudo arus dan tegangan untuk menyelesaikan komponen ε* = kapasitansi dengan sampel/kapasitansi dengan suatu gap udara identik. Gambar instrumen DETA ditunjukkan pada Gambar 1.



Gambar 1. Salah satu instrumen DETA dari Beckett Technology


2.        Teori
Material layaknya polimer dapat menunjukkan perilaku kapasitif (kemampuan untuk menyimpan muatan listrik) dan juga perilaku konduktif (kemampuan untuk melewatkan muatan listrik). Di bawah kondisi yang diberikan, material yang diuji dapat direperesentasikan oleh resistor (konduktor) dan kapasitor secara paralel. Hal ini seperti ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 2. Representasi resistor dan kapasitor secara paralel pada material polimer

Jika suatu tegangan sinosidal diberikan pada suatu resistor (konduktor), arus yang dihasilkan yang diukur berada di fasa dengan tegangan yang diberikan. Tidak terdapat penyimpanan pada muatan manapun oleh resistor.

Ketika tegangan pada periode yang sama diberikan pada kapasitor, terjadi beberapa penyimpanan muatan dan sebagai hasilnya arus terukur tampak di luar fasa akibat tegangan yang diberikan tersebut. Pergeseran fasa dinotasikan sebagai delta, δ, bernilai 0° untuk konduktor sesungguhnya dan 90° untuk kapasitor sesungguhnya. Hal ini ditampilkan pada Gambar 3. Material polimer menunjukkan baik sifat kapasitif maupun konduktif. Hasilnya adalah pergeseran fasa di antara 0° dan 90°.


Gambar 3. Pergeseran fasa pada kapasitor dan konduktor

Arus yang terukur (disimbolkan “Imeas”) untuk material polimer dapat dipisahkan ke dalam komponen-komponen kapasitif dan komponen-komponen konduktifnya. Diagram Argand (Gambar 4) menggambarkan hal ini dengan mengikuti:
Ikonduktif = Imeas x cos(fasa)
Ikapasitif = Imeas x sin(fasa)

Diagram Argand yang ditunjukkan pada Gambar 4 menunjukkan jika diagram ini memparalelkan perlakuan modulus kompleks yang digunakan pada data DMA. Nilai tan δ tidak sebanding untuk proses mekanik dan listrik.


Ikonduktif = Imeas x cosδ
Ikapasitif = Imeas x sinδ
Gambar 4. Diagram Argand

Kapasitansi dan konduktansi material kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Kapasitansi = Imeas x sin δ/Vin x 2πf
Konduktansi = resistensi – 1 = ImeascosδVin

Dimana 2πf adalah frekuensi angular dan f  adalah frekuensi
Jika geometri sampel diketahui, maka akan mungkin untuk mengekspresikan respon kapasitif dan konduktif material sebagai kuantitas tak berdimensi:
e’ konstanta dielektrik atau permitivitas
e” faktor hilang
Istilah lain yang umum digunakan untuk mengekspresikan respon dielektrik adalah faktor pemborosan (dissipation) atau tangen hilang:

tan delta = e”/e’

Untuk elektroda bidang paralel, e’ dan e” dapat dihitung dari pengukuran kapasitansi dan konduktansi, untuk sampel homogen dengan mengikuti:
e’ Cd/e0A
e” = d/RAW e0
dimana:
C = kapasitansi
R = resistansi
A = luas bidang elektroda
D = jarak bidang
W = frekuensi angular (2πf)
e0 = permitivitas absolut pada free space (8,85 x 10-12 F/M)
Beberapa fenomena menyebabkan material polimer memiliki komponen kapasitif (e’) dan konduktif (e”). Fenomena tersebut antara lain:

·         Dipol terinduksi
Pemisahan muatan pada ikatan non polar yang disebabkan oleh keberadaan medan listrik. Ikatan-ikatan tersebut bereaksi begitu cepat ke medan listrik dimana frakuensinya independen.
·         Dipol statis
Dipol statis ini membutuhkan gerakan molekuler untuk mengorientasikannya ke medan listrik yang diberikan sehingga frekuensinya menjadi dependant.
·         Konduksi ionik
Konduksi ionik disebabkan oleh aliran ion, yang biasanya berupa pengotor yang terdapat pada medan listrik. Mobilitasnya tidak tergantung frekuensi.

Gambar 5 menunjukkan pengaruh penerapan medan listrik terhadap material polimer. Ketika medan diberikan, dipol berusaha mengarahkan medan dan pergerakan ion berlawanan dengan muatan elektroda.



Gambar 5. Pengaruh medan listrik pada material polimer


Nilai e’ dan e” dihitung dari persamaan yang mengkuantitaskan hubungan ini:

e’ = permitivitas yang disebabkan dipol terinduksi + permitivitas yang disebabkan oleh penyearahan dipol
e” = dipol faktor hilang + konduktansi ionik.

e’ merepresentasikan jumlah penyearahan dipol terhadap medan listrik. e’ bernilai kecil untuk polimer pada suhu yang rendah, dibawah transisi termal, karena molekul dibekukan pada tempatnya dan dipol tidak bisa bergerak untuk menyearahkan dirinya dengan medan listrik. Hal yang serupa, dimana e’ bernilai rendah untuk resin termosetting yang terikat silang secara mampat.
e” mengukur jumlah energi yang dibutuhkan untuk menyearahkan dipol dan ion yang bergerak. Konduksi ionik tidak signifikan sampai polimer menjadi fluida (diatas Tg atau Tm). e” menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk menyearahkan dipol di bawah dan selama Tg. e” menggambarkan sebuah puncak ketika polimer melewati Tg. Diatas Tg, e” digunakan untuk menghitung konduktivitas ionik bulk:
σ = e”We0
dimana
σ = konduktivitas ionik
W = frekuensi angular
e0 = permitivitas abolut pada free space (8,85 x 10-12 F/M)
Konduktivitas ionik bulk (σ) dapat digunakan untuk mengikuti perubahan reologi yang terjadi selama proses termoplastik dan pengarusan termoset. Konduktivitas ionik berhubungan dengan viskositas, karena fluiditas diidentifikasikan dari penurunan dimana pengotor ionik dapat bermigrasi melalui sampel.

3.        Prosedur Eksperimen
Sampel umumnya berupa lembaran tipis, film atau cairan yang ditaruh diantara bidang elektroda paralel sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6.


Gambar 6. Elektroda  pada DETA
Pada proses preparasi ini sangat penting untuk memastikan adanya kontak yang sempurna antara sampel dan elektroda, sehingga sampel idealnya memiliki permukaan yang halus tanpa adanya gelombang/permukaan yang tidak rata. Umumnya, sampel yang lebih tipis lebih baik daripada sampel yang tebal. Ketebalan ideal yang dari sampel adalah 2 mm atau kurang.

Apabila suatu sampel tidak halus/rata, maka dibutuhkan pelapisan percikan (sputter coating) pada sampel tersebut dengan coating yang bersifat konduktif medium. Bahan coating yang ideal adalah emas, namun biayanya cenderung mahal. Perak atau aluminium dapat pula digunakan sebagai bahan coating namun permukaan dapat teroksidasi dengan cepat sehingga analisanya pun harus dilakukan secepat mungkin setelah sampel selesai dipreparasi.

Pelapisan (coating) ini akan menghilangkan gap udara antara sampel dengan elektroda efektif (yakni logam yang terlapisi secara sputter) sehingga akan mengeliminasi data yang tidak diperlukan. Alternatif yang bisa dilakukan adalah coating dari  material yang inert secara dielektrik dapat diterapkan pada sampel untuk menghilangkan kantung udara. Material tersebut umumnya berupa jeli minyak (petroleum jelly).

Elektroda DETA pada umumnya bersifat spring loaded untuk memelihara kontak positif dengan sampel melalui profil termal. Elektroda tersebut dapat dikunci ke dalam tempat jika memang dibutuhkan untuk menghindari fluida yang bertekanan tumpah keluar. Contoh hasil analisa yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.



Gambar 7. Grafik hasil analisa DETA


4.        Aplikasi Penggunanan Instrumen DETA
Instrumen DETA dapat digunakan untuk beberapa aplikasi utamanya untuk melakukan kajian terhadap karakter suatu material atau suatu proses tertentu yang terjadi dalam material tersebut. Salah satunya adalah untuk mempelajari proses polimerisasi termal dari monomer-monomer benzoxazine untuk membentuk polimer polibenzoxazine seperti yang dilakukan oleh Gârea dkk. (2007).

Polibezoxazine merupakan salah satu jenis resin fenolik termosetting yang memiliki beberapa sifat unggulan antara lain suhu transisi gelas (Tg) yang tinggi, stabilitas termal yang tinggi, sifat mekanik yang baik, adsorpsi air yang rendah, resistensi yang baik terhadap pembakaran dan juga harganya yang murah. Material ini banyak dipalikasikan sebagai material lapisan pelindung pada sirkuit televisi, chip komputer, badan pesawat terbang, agen curing untuk resin sintetis yang lain serta pernis yang membentuk film tipis dengan resistensi yang baik terhadap air, alakali dan pelarut.

Polimerisasi pada monomer benzoxazine melalui pemutusan cincin heterosiklik pada suhu tinggi tanpa adanya katalis dan tanpa menghasilkan produk samping. Sampai saat ini sudah banyak jenis senyawa fenol dan amina primer yang telah digunakan untuk sintesis resin benzoxazine.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji proses polimerisasi termal dari empat monomer benzoxazine yang berbeda, yakni bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) isopropana (BA-BZA), bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3 benzoxazinil) isopropana (BA-CHA), bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil)metana (BF-BZA), bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) metana (BF-CHA) dengan beberapa teknik antara lain kromatografi permeasi gel (GPC) FTIR, dan DETA. Reaktan utama yang digunakan dalam sintesis keempat jenis monomer benzoxazine tersebut adalah formaldehid, benzilamin (BZA), sikloheksilamin (CHA), bisfenol A (BA), bisfenol F (BF). Dalam makalah ini hanya akan dibahas peran analisa dengan DETA pada proses polimerisasi monomer benzoxazine tersebut. Dalam hal ini, DETA juga digunakan untuk menentukan waktu gel.

Analisa dengan DETA dilakukan dimana jarak minimum antara elektroda atas dan bawah adalah 0,1 mm. Eksperimen dilakukan pada empat frekuensi yang berbeda dalam rentang 0,316-10 Hz dan pada laju pemanasan 5 °C/menit.

Reaksi umum untuk sintesis monomer benzoxazine ditunjukkan pada Gambar 8, sementara struktur benzoxazine yang disintesis ditunjukkan pada Gambar 9.



Gambar 8. Reaksi kimia pada sintesisi monomer bezoxazine.


Gambar 9. Struktur molekul monomer benzoxazine yang disintesis.

Analisa awal yang dilakukan dengan FTIR dan GPC menghasilkan skema polimerisasi termal dari polibezoxazin seperti ditunjukkan pada Gambar 10.


Gambar 10. Reaksi pada sintesis polibenzoxazine melalui polimerisasi termal.

Hasil analisa dengan DETA ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan plot antara konduktivitas ionik terhadap fungsi waktu selama proses polimerisasi isotermal pada suhu 170 °C. Konduktivitas ionik dihitung dari faktor hilang menurut persamaan 

Dimana σ merupakan konduktivitas ionik, e0 adalah permitifitas absolut pada free space (8,85 x 10-12 F/m), e” faktor hilang dielektrik, w merupakan frekuensi angular.


Gambar 11. Grafik konduktivitas ion terhadap waktu untuk polimerisasi isotermal (170 C)
       dari monomer benzoxazine pada frekuensi yang berbeda: (1) 0,316 Hz, (2) 1
        Hz, (3) 3,16 Hz, dan (4) 10 Hz

Terdapat dua fenomena utama yang memberikan pengaruh terhadap e” , yakni konduktivitas ionik dan relaksasi dipol. Pada permulaan reaksi polimerisasi, konduktivitas merupakan faktor yang dominan, namun menjelang akhir dari reaksi, e” menjadi lebih tergantung pada relaksasi dipol. Kajian yang saat ini telah diketahui adalah jika konduktivitas ionik tidak tergantung pada frekuensi, namun relaksasi dipol tergantung pada frekuensi. Untuk mengungkap kontribusi dari kedua faktor tersebut terhadap faktor hilang e” , maka ketergantungan σ terhadap waktu pada frekuensi yang berbeda perlu diamati. Hasil pengamatan ini juga telah ditunjukkan pada Gambar 11 di atas.

Ketika reaksi dimulai, konduktivitas menunjukkan nilai yang tertinggi karena viskositasnya sangat rendah, dan ion memiliki mobilitas yang cukup. Selanjutnya selama reaksi berlangsung, viskositas meningkat sehingga mobilitas ionnya menurun. Hal ini menyebabkan konduntivitas juga ikut menurun dan mencapai nilai konstan, dimana hal ini menunjukkan titik gel.

Monomer benzoxazine menunjukkan titik gel yang berbeda. Monomer Ba-BZA menunjukkan titik gel yang terendah (40 menit) yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi oligomer dari monomer inisial (hal ini telah dikonfirmasi sebelumnya oleh GPC, DSC dan 1H NMR). Oligomer-oligomer ini berperan sebagai katalis untuk reaksi polimerisasi melalui gugus fenolik. Monomer  BA-CHA mencapai titik gel setelah 40 menit, konsentrasi awal oligomer nya lebih kecil daripada BA-BZA. Untuk monomer BF-BZA dan BF-CHA, titik gel dicapai pada 70 menit untuk BF-BZA dan 80 menit untuk BF-CHA. Konsentrasi awal oligomer dari kedua monomer ini hampir sama, sehingga efek katalitik menjadi tidak diperhitungkan. Perbedaan rekativitas antara BF-CHA dan BF-BZA juga bisa diterangkan dengan melihat keelektronegatifan atom oksigen pada cincin oxazine. Pada monomer BF-CHA, cincin oxazine juga mengandung atom nitrogen yang memiliki gugus sikloheksil sebagai substituennya yang menginduksikan densitas elektron yang lebih besar pada gugus benzil.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tentang peran DETA dalam penelitian ini. Analisa DETA memberikan nilai waktu gel dari tiap monomer, sehingga memberikan informasi pula terhadap reaktivitas monomer benzoxazine. Tingginya perbedaan reaktivitas monomer yang berbasis BA dan BF disebabkan oleh konsentrasi awal oligomer pada tiap monomer, sementra perbedaan kecil pada reaktivitas monomer yang berbasis pada fenol yang sama dengan amina yang berbeda dijelaskan berdasarkan kepadatan elektron  pada atom nitrogen dari amina (Gârea dkk, 2007).

5.        Referensi
Gârea, S. A., Iovu. H., Nicolescu, A. dan Deleanu, C., 2007., Thermal polymerization of benzoxazine monomers followed by GPC, FTIR and DETA., Polymer testing, 26, 162-171.

http://www.becketttechnology.com/downloads/TTInf_2007_What%20is%20DETA.pdf

http://becketttechnology.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar